Sabtu, 20 Agustus 2011
Pura Besakih sebagai Objek Wisata Budaya di Bali
Secara empiris adanya kecenderungan semakin menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke obyek wisata budaya Pura Besakih dan banyaknya statement para pengusaha di bidang pariwisata yang mengkritisi masalah obyek wisata budaya Pura Besakih di media masa baik media cetak maupun media elektronik sejak lima tahun terakhir. Sorotan yang paling tajam adalah mengenai masalah prilaku pemandu wisata lokal yang bertindak sewenang-wenang dalam mengantarkan tamu menuju kawasan Pura Besakih. Kesewenang-wenangan tersebut misalnya dengan cara memaksa para wisatawan agar membayar guide fee yang jumlahnya uang jasanya jauh lebih besar dari yang semestinya. Masalah lainnya adalah prilaku para pedagang tradisional yang sering melakukan perbuatan tidak terpuji yaitu menipu pada saat wisatawan berbelanja juga menjadi masalah yang cukup serius.
Di samping kedua masalah yang paling menonjol tersebut juga banyaknya kendala yang dihadapi obyek wisata budaya Pura Besakih seperti jarak tempuh yang sangat jauh dari tourist spot terutama bagi wisatawan yang tinggal di wilayah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, dan kurang efesienya syarat join and linkage (setiap suatu perjalanan bisa sekaligus melewati beberapa obyek yang berdekatan).
Munculnya masalah-masalah tersebut di atas dan konfik kepentingan di antara para pihak yang terkait disebabkan karena kurang efesienya peran masing-masing stakeholder khusunya pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat lokal yang dipercayakan dalam mengelola obyek wisata budaya Pura Besakih tersebut.
Dengan memperhatikan apa yang telah dipaparkan di atas, maka nampaknya perlu dilakukan suatu terobosan yang jitu agar ke depan obyek wisata budaya Pura Besakih tidak akan terus ditinggal secara halus oleh pihak pengelola jasa pariwisata dan wisatawan. Beberapa pembenahan atau penataan yang mendasar seharusnya dilakukan, yaitu: (1) Pembuatan kebijakan dan penerapan peraturan yang jelas dan tegas tentang pengelolaan obyek wisata budaya Pura Besakih sebagai obyek wisata budaya oleh pemerintah, (2)
Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengembangan obyek wisata budaya Pura Besakih dengan mensosialisasikan kebijakan dan peraturan yang telah dibuat dan hukumannya apabila terjadi pelanggaran, memberikan akses yang lebih banyak untuk terlibat dalam kegiatan pariwisata, memberikan pendidikan dan pelatihan agar sumber daya masyarakat lokal berkualitas .
Peran Pemerintah dalam Pengembangan Obyek Wisata Budaya di Pura Besakih
Pura Besakih, di samping berperan utama sebagai pusat dari tempat persembahyangan umat Hindu di Bali bahkan di Indonesia juga merupakan warisan budaya Bali yang memiliki nilai historis yang tinggi. Karena berbagai keunikan dan penuh nilai tersebut, maka keberadaan Pura Besakih harus tetap dilestarikan.
Pemerintah yang berperan sebagai pemegang kebijakan, perencana dan yang paling bertanggung jawab dalam mengembangkan obyek wisata budaya tersebut, termasuk sebagai penegak aturan-aturan yang berlaku bagi stakeholder atau komponen lainnya selain pemerintah itu sendiri. Dalam upaya menerapkan peraturan yang telah ada baik berupa Peraturan Daerah maupun keputusan atau kebijakan lain yang diambil oleh pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah daerah harus benar-benar diterapkan sesuai aturan. Sebagai contoh: Siapa yang sesungguhnya yang boleh berjualan di sekitar kawasan obyek wisata budaya Pura Besakih, siapa yang berwenang memandu wisata yang berkunjung ke obyek tersebut, berapakah jarak antara Pura Besakih (attraction spot) dan tempat berjualan para pedagang acung dan pedagang kaki lima boleh membuka usahanya. Jika aturan-aturan tersebut dijalankan dengan tegas, maka akan dapat menghindari gesekan sosial bahkan bisa mengangkat image positif sehingga secara bertahap kenyamanan wisatawan yang berkunjung bisa pulih dan terjaga dengan baik. Masih banyak contoh riil yang bisa diangkat dan dibenahi disini, termasuk prilaku para pedagang yang sering menipu (cheating) wisatawan ketika bertransaksi (berbelanja) buah-buahan. Dengan ditegakkannya aturan-aturan dengan tegas, maka hal-hal negatif tersebut di atas niscaya akan bisa teratasi.
Kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah tersebut di atas harus segera dibuat dan diterapkan agar masalah tersebut tidak berkepanjangan yang dapat mengakibatkan masalah yang lebih kompleks. Salah satu kebijakan yang telah dikeluarkan adalah mengenai pengaturan pramu wisata lokal. Dengan dikeluarkannya ijin bagi para guide lokal yang khusus memandu wisatawan ketika berada di kawasan obyek wisata budaya
Pura Besakih maka setidaknya memberikan manfaat yang positif bagi para masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari sektor pariwisata terutama yang berprofesi sebagi pemandu wisata lokal. Namun pengeluaran license bagi guide lokal ini memunculkan berbagai masalah baru, misalnya; pihak industri pariwisata khususnya travel agent yang telah memiliki guide yang profesional yang memiliki kompetensi dan license dari Himpunan Pramu wisata Indonesia (HPI) tidak diberikan otoritas untuk memandu wisatawannya ketika berada di obyek wisata budaya Pura Besakih. Masalah lain yang masih muncul adalah masih banyaknya wisatawan yang mengeluhkan mengenai pelayanan yang didapatkan karena lemahnya kompetensi pramu wisata lokal tersebut.
Sayangnya, peran pemerintah dalam mengakomodasi para pemandu wisata lokal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Ternyata para pramu wisata lokal yang sudah mengantongi license tidak memiliki kompetensi (skill, knowledge dan attitude) yang memadai. Hal inilah yang mengakibatkan masih banyaknya muncul complaint dari para wisatawan. Semestinya pemerintah atau departemen yang mengeluarkan license tersebut menyeleksi masyarakat lokal yang ingin menjadi pramu wisata lokal secara ketat sebelum mengeluarkan license. Begitu juga setelah mereka dinyatakan lulus, mereka harus diwajibkan mengikuti pelatihan secara berkala untuk meningkatkan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada para wisatawan.
Pengeluaran license untuk pemandu wisata lokal ini juga mengakibatkan konflik di antara lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan license dalam hal ini HPI dengan pemerintah daerah Karang Asem. Sehingga terjadilah tumpang tindih fungsi institusi dalam pengeluaran kebijakan tersebut.
Oleh karena itu dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan, pemerintah semestinya tidak membuatnya sendiri, tetapi harus didiskusikan bersama dengan pihak para pihak yang memiliki kepentingan seperti; biro perjalanan wisata, HPI, masyarakat lokal dan lembaga penegak hukum lainnya. Walaupun menurut teori fungsionalisme struktural bahwa pemerintah berwenang dalam pengeluaran kebijakan-kebijakan.
Peran Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Obyek Wisata Budaya di Pura Besakih
Apabila melihat kembali lagi ke belakang, melihat cikal bakal budaya dijadikan sebagai bagian dari pariwisata sebagaimana yang berlaku di Bali termasuk untuk obyek wisata budaya Pura Besakih, maka selaras dengan apa yang diamanatkan oleh UNESCO melalui Dewan Ekonomi dan Sosial dalam konfrensinya yang bertajuk The Cultural Factor in Tourism, dimana menekankan pentingnya pariwisata untuk mempromosikan perdamaian, persahabatan antar negara, melestarikan dan mempromosikan warisan budaya dalam pembangunan ekonominya. Untuk mewujudkan cita-cita mulia dari pengembangan pariwisata maka partisipasi masyarakat lokal dan pihak swasta lainnya adalah mutlak dilakukan apabila menginginkan Besakih kembali menjadi obyek yang populer di masa yang akan datang terutama sebai obyek pariwisata Budaya.
Pemberdayaan masyarakat lokal yang berada disekitar obyek wisata mutlak harus dilakukan. Hal ini sejalan dengan Pasal 8 Kepmen Parpostel No.KM 105/PW.304/MPPT-91 tentang ijin jasa pramuwisata. (Putra, 2001). Pemberdayaan ini tidak terbatas pada sumber daya manusia yang berprofesi sebagai pemandu wisata di obyek wisata tersebut, tetapi juga bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pendukung kegiatan kepariwisataan lainnya dan masyarakat yang bergerak dalam hal ritual keagamaan.
Hal ini perlu sekali, karena dengan meningkatnya kualitas sumber daya masyarakat setempat maka secara otomatis akan semakin mengerti apa sebenarnya yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata budaya Pura Besakih. Pentingnya peningkatan pendidikan bagi masyarakat yang berada pada lingkungan pariwisata budaya juga ditegaskan oleh Richard (1997) ‘education is the strongest single influence on cultural participation’. Lebih tegas lagi Richard (1997) menjelaskan pentingnya pengetahuan tentang budaya dalam pariwisata bahwa ‘people need to accommulate the knowledge about art and culture in order to be able to participate effectively. Lack of cultural capital therefore becomes a barrier to participation. Jadi betapa pentingnya pendidikan bagi masyarakat sehingga masyarakat hendaknya tahu persis tentang apa yang harus dijelaskan kepada wisatawan agar tidak terjadi kesalah mengertian atau kesalah pahaman dalam memberikan informasi kepada wisatawan.
Di samping hal tersebut di atas, perlunya peningkatan sumber daya manusia juga mengacu pada peningkatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat di Besakih sehingga masyarakat setempat memiliki kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja sesuai dengan UU No 9 Tahun 1990 tentang peranan pariwisata dalam memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja (Putra, 2001). Sebenarnya masyarakat sangat menentukan dalam upaya pelestarian, terutama masyarakat dalam hal ini penduduk lokal (local community) yang berada langsung di obyek tersebut.
Yang terakhir adalah masalah pelestarian obyek wisata Besakih. Berbicara tentang pelestarian yang berkelanjutan dan berkesinambungan, tentu melibatkan banyak aspek di dalam implikasi riilnya. Pelestarian tidak hanya mencakup bangunan fisik dari obyek tersebut tetapi juga termasuk lingkungan yang ikut mendukung pelestarian obyek tersebut. Dalam pariwisata berkelanjutan dinyatakan Recognation of symbiotic relationship between tourism, the environment and development should stimulate conservation of tourism attraction (France, 1997). Ini berarti pentingnya semua pihak untuk berfikir jernih, positif dan holistik dalam pelestarian suatu obyek termasuk dari sisi lingkungannya.
Agar membuat obyek wisata budaya Pura Besakih ajeg sebagai obyek wisata budaya, maka perlu digali upaya untuk memberi penyadaran kepada para stakeholder baik wisatawan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pelaku pariwisata, para umat yang berkunjung untuk bersembahyang maupun masyarakat pada umumnya. Penyadaran yang dimaksud adalah perlunya penekanan-penekanan pada betapa pentingnya obyek wisata budaya Pura Besakih tidak hanya sebatas sebagai obyek wisata, tetapi hendaknya menjadi suatu yang monumental untuk dilestarikan, dipelihara, dan dihargai keberadaannya sehingga akan tetap lestari. Hal ini sudah ditegaskan dalam Bali Sustainable Development Project sejak tahun 1991 yang sangat memberi perhatian dalam pelestarian nilai budaya Bali. Pada proyek tersebut diantaranya menegaskan “the continuity of culture and the balance within culture” (Nelson : 1992 :54).
Dalam upaya melestarikan obyek wisata Besakih secara integral dan berkelanjutan masyarakat harus terlibat secara langsung. Dengan keterlibatan masyarakat ini maka dampak yang ditimbulkan akan lebih jelas yaitu menuju pelestarian nilai budaya pada obyek tersebut. Keterlibatan masyarakat sebagaimana yang disebutkan Picard (1997) Once it had become a tourist asset, The Balinese resolve to preserve and promote their culture, while taking the advantage of its prestige abroad and its economic importance at home in order obtain full re-cognation of their ethnic identity from the state…
Dengan demikian, kemampuan masyarakat Bali dalam ikut serta melestarikan obyek wisata Besakih adalah merupakan upaya untuk mempertahankan jati diri sebagai masyarakat yang berbudaya dan memiliki religiusitas yang tinggi.
Kesadaran masyarakat secara keseluruhan termasuk wisatawan untuk ikut serta melestarikan obyek wisata budaya Pura Besakih akan merupakan kunci utama menuju keberhasilan memulihkan Pura Besakih sebagai obyek wisata budaya unggulan atau populer seperti yang terjadi pada tahun delapan puluhan. Jika ini berhasil diterapkan maka kesan Bali sebagai The Island Of Gods, The Last Paradise, dan terutama image Besakih sebagai The Mother Temple akan kembali jaya di masa yang akan datang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar