Sabtu, 27 Agustus 2011

Kontribusi Pengelolaan Objek Wisata Tanah Lot

Wisata Mekare kare atau Geret Pandan di Desa Bali Aga Tenganan


Tengenan atau Tengenan Pegringsingan itulah nama sebuah desa Bali Aga (Bali Kuna) yang terletak di Kabupaten Karangasem. Desa ini berdiri ditengah-tengah perbukitan yang kokoh laksana benteng pelindung yang mengisolasi desa Tenganan. Desa tenganan inilah yang memiliki adat istiadat yang tiada duanya di Bali. Seperti apa adat istiadat mereka?
Penduduk Tenganan telah diwarisi aturan tertulis atau awig-awig secara turun temurun dari moyang mereka. Aturan tersebut masih dijalankan sampai saat ini sehingga kelestariaannya tetap terjaga. Bangunan rumah penduduk dibuat hampir sama satu dengan yang lain, yaitu dibangun sejajar dari arah utara ke selatan. Begitu juga dengan ukuran masing-masing bangunan, sungguh tiada bedanya, karena sudah ada patokan khusus mengenai tata cara pembangunan di desa itu. Budaya gotong royong dan saling tolong menolong masih menjadi kebiasaan penduduk yang telah mendarah daging.
Dari berbagai upacara keagamaan yang dilakukan di Tenganan, salah satu yang paling menarik adalah upacara Mekare kare atau Geret Pandan (perang pandan). Upacara yang dilangsungkan pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) adalah bagian dari upcara "Sasih Sembah" yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.

Tempat pelaksanaan upacara Mekare-kare ini adalah didepan Bale Patemu (balai pertemuan yang ada di halaman desa). Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), dan para pria tanpa pakaian atas bertarung satu lawan satu berbekal pandan berduri yang diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada. Sambil menari-nari mereka bergulet dan mengiris punggung lawan. Tangan kanannya memegang senjata pandan sedangkan tangan kiri mereka memegang perisai yang terbuat dari rotan. Duel ini dilakukan secara bergilir (kurang lebih selama 3 jam) dan wajib diikuti oleh semua pria di desa tersebut (mulai naik remaja). Seusai upacara tesebut semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira. Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Peran Industri Pariwisata dalam Pembangunan Pariwisata



Pariwisata merupakan industri perdagangan jasa yang memiliki mekanisme pengaturan yang kompleks karena mencakup pengaturan pergerakan wisatawan dari negara asalnya, di daerah tujuan wisata hingga kembali ke negara asalnya yang melibatkan berbagai hal seperti; transportasi, penginapan, restoran, pemandu wisata, dan lain-lain. Oleh karena itu, industri pariwisata memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata.
Dalam menjalankan perannya, industri pariwisata harus menerapkan konsep dan peraturan serta panduan yang berlaku dalam pengembangan pariwisata agar mampu mempertahankan dan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan yang nantinya bermuara pada pemberian manfaat ekonomi bagi industri pariwisata dan masyarakat lokal. Industri-industri pariwisata yang sangat berperan dalam pengembangan pariwisata adalah: biro perjalanan wisata, hotel dan restoran. Selain itu juga didukung oleh industri-industri pendukung pariwisata lainnya.
Biro perjalanan wisata merupakan jembatan penghubung antara wisatawan dengan penyedia jasa akomodasi, restoran, operator adventure tour, operator pariwisata dan lain-lain. Umumnya wisatawan menggunakan jasa biro perjalanan wisata dalam menentukan rencana perjalannya (tour itinerary), namun tidak tertutup kemungkinan wisatawan mengatur rencana perjalanannya sendiri. Dalam konteks pengembangan pariwisata, biro perjalanan wisata memiliki beberapa penting antara lain:
a.mendatangkan wisatawan. Ketidaktahuan wisatawan terhadap destinasi yang akan dikunjungi merupakan faktor pendorong utama untuk menggunakan jasa biro perjalanan wisata sebagai pemandunya;
b.meminimalisasi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh wisatawan. Biro perjalanan wisata harus memberikan informasi pra perjalanan (pre-tour information), literatur, atau buku panduan lainnya tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berada di destinasi pariwisata untuk menghindari munculnya dampak-dampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan sosial- budaya masyarakat. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan sistem pengaturan jumlah kunjungan wisatawan dalam skala kecil sehingga bisa mengurangi intensitas sentuhan langsung wisatawan dengan alam dan tidak melebihi daya tampung (over-visited) destinasi pariwisata;
c.meminimalisasi dampak-dampak yang disebabkan oleh operator penjual produk pariwisata. Ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para manajer, staf dan karyawan lainnya terhadap pentingnya pelestarian lingkungan dan sosial-budaya masyarakat;
d.menyediakan program pelatihan kepada para manajer, staf dan karyawan lainnya tentang cara berkomunikasi dan menangani wisatawan yang ketika mereka berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sosial-budaya masyarakat;
e.memberikan bantuan dana untuk konservasi alam yang dijadikan sebagai salah satu pruduk atau paket wisata;
f.memberikan peluang kepada masyarakat lokal untuk bekerja sesuai dengan kompetensinya;
g.menyediakan paket-paket wisata yang ramah lingkungan.
Ada empat komponen yang terlibat sebagai penghubung antara wisatawan manca negara dengan obyek pariwisata yaitu; travel agent, outbound tour operator, inbound tour operator dan local service providers. Travel Agent merupakan agen perjalanan wisata yang menawarkan berbagai jenis pelayanan dan paket wisata domestik maupun internasional yang menjual langsung kepada calon wisatawan. Outbound Tour Operator merupakan operator perjalanan wisata yang secara khusus menjual paket wisata yang lengkap (complete tour package) ke luar negeri. Paket wisata, kegiatan wisata, dan jadwal keberangkatan dan kedatangannya sudah terprogram secara matang dan dibuat di dalam satu brosur, pamplet dan website yang berisi tentang semua informasi tentang paket tersebut. Outbound tour operator bekerjasama dengan inbound tour operator yang berada di daerah tujuan wisata yang menangani wisatawan dan menyediakan semua pelayanan paket wisata yang dijualnya. Inbound tour operator merupakan operator tour internasional yang berada di daerah tujuan wisata yang menyediakan semua pelayanan kepada wisatawan mulai dari kedatangan di daerah tujuan wisata yang dikunjungi hingga keberangkatan ke negara asal wisatawan. Local Service Providers merupakan komponen lokal penyedia saranan penunjang pariwisata seperti; akomodasi, transportasi lokal, pemandu wisata lokal, toko kerajinan dan cindramata. Semua komponen lokal ini dikelola berbasiskan kemasyarakatan.

Pura Besakih sebagai Objek Wisata Budaya di Bali


Secara empiris adanya kecenderungan semakin menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke obyek wisata budaya Pura Besakih dan banyaknya statement para pengusaha di bidang pariwisata yang mengkritisi masalah obyek wisata budaya Pura Besakih di media masa baik media cetak maupun media elektronik sejak lima tahun terakhir. Sorotan yang paling tajam adalah mengenai masalah prilaku pemandu wisata lokal yang bertindak sewenang-wenang dalam mengantarkan tamu menuju kawasan Pura Besakih. Kesewenang-wenangan tersebut misalnya dengan cara memaksa para wisatawan agar membayar guide fee yang jumlahnya uang jasanya jauh lebih besar dari yang semestinya. Masalah lainnya adalah prilaku para pedagang tradisional yang sering melakukan perbuatan tidak terpuji yaitu menipu pada saat wisatawan berbelanja juga menjadi masalah yang cukup serius.

Di samping kedua masalah yang paling menonjol tersebut juga banyaknya kendala yang dihadapi obyek wisata budaya Pura Besakih seperti jarak tempuh yang sangat jauh dari tourist spot terutama bagi wisatawan yang tinggal di wilayah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, dan kurang efesienya syarat join and linkage (setiap suatu perjalanan bisa sekaligus melewati beberapa obyek yang berdekatan).
Munculnya masalah-masalah tersebut di atas dan konfik kepentingan di antara para pihak yang terkait disebabkan karena kurang efesienya peran masing-masing stakeholder khusunya pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat lokal yang dipercayakan dalam mengelola obyek wisata budaya Pura Besakih tersebut.
Dengan memperhatikan apa yang telah dipaparkan di atas, maka nampaknya perlu dilakukan suatu terobosan yang jitu agar ke depan obyek wisata budaya Pura Besakih tidak akan terus ditinggal secara halus oleh pihak pengelola jasa pariwisata dan wisatawan. Beberapa pembenahan atau penataan yang mendasar seharusnya dilakukan, yaitu: (1) Pembuatan kebijakan dan penerapan peraturan yang jelas dan tegas tentang pengelolaan obyek wisata budaya Pura Besakih sebagai obyek wisata budaya oleh pemerintah, (2)
Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengembangan obyek wisata budaya Pura Besakih dengan mensosialisasikan kebijakan dan peraturan yang telah dibuat dan hukumannya apabila terjadi pelanggaran, memberikan akses yang lebih banyak untuk terlibat dalam kegiatan pariwisata, memberikan pendidikan dan pelatihan agar sumber daya masyarakat lokal berkualitas .
Peran Pemerintah dalam Pengembangan Obyek Wisata Budaya di Pura Besakih
besakih2Pura Besakih, di samping berperan utama sebagai pusat dari tempat persembahyangan umat Hindu di Bali bahkan di Indonesia juga merupakan warisan budaya Bali yang memiliki nilai historis yang tinggi. Karena berbagai keunikan dan penuh nilai tersebut, maka keberadaan Pura Besakih harus tetap dilestarikan.
Pemerintah yang berperan sebagai pemegang kebijakan, perencana dan yang paling bertanggung jawab dalam mengembangkan obyek wisata budaya tersebut, termasuk sebagai penegak aturan-aturan yang berlaku bagi stakeholder atau komponen lainnya selain pemerintah itu sendiri. Dalam upaya menerapkan peraturan yang telah ada baik berupa Peraturan Daerah maupun keputusan atau kebijakan lain yang diambil oleh pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah daerah harus benar-benar diterapkan sesuai aturan. Sebagai contoh: Siapa yang sesungguhnya yang boleh berjualan di sekitar kawasan obyek wisata budaya Pura Besakih, siapa yang berwenang memandu wisata yang berkunjung ke obyek tersebut, berapakah jarak antara Pura Besakih (attraction spot) dan tempat berjualan para pedagang acung dan pedagang kaki lima boleh membuka usahanya. Jika aturan-aturan tersebut dijalankan dengan tegas, maka akan dapat menghindari gesekan sosial bahkan bisa mengangkat image positif sehingga secara bertahap kenyamanan wisatawan yang berkunjung bisa pulih dan terjaga dengan baik. Masih banyak contoh riil yang bisa diangkat dan dibenahi disini, termasuk prilaku para pedagang yang sering menipu (cheating) wisatawan ketika bertransaksi (berbelanja) buah-buahan. Dengan ditegakkannya aturan-aturan dengan tegas, maka hal-hal negatif tersebut di atas niscaya akan bisa teratasi.
Kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah tersebut di atas harus segera dibuat dan diterapkan agar masalah tersebut tidak berkepanjangan yang dapat mengakibatkan masalah yang lebih kompleks. Salah satu kebijakan yang telah dikeluarkan adalah mengenai pengaturan pramu wisata lokal. Dengan dikeluarkannya ijin bagi para guide lokal yang khusus memandu wisatawan ketika berada di kawasan obyek wisata budaya
Pura Besakih maka setidaknya memberikan manfaat yang positif bagi para masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari sektor pariwisata terutama yang berprofesi sebagi pemandu wisata lokal. Namun pengeluaran license bagi guide lokal ini memunculkan berbagai masalah baru, misalnya; pihak industri pariwisata khususnya travel agent yang telah memiliki guide yang profesional yang memiliki kompetensi dan license dari Himpunan Pramu wisata Indonesia (HPI) tidak diberikan otoritas untuk memandu wisatawannya ketika berada di obyek wisata budaya Pura Besakih. Masalah lain yang masih muncul adalah masih banyaknya wisatawan yang mengeluhkan mengenai pelayanan yang didapatkan karena lemahnya kompetensi pramu wisata lokal tersebut.
Sayangnya, peran pemerintah dalam mengakomodasi para pemandu wisata lokal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Ternyata para pramu wisata lokal yang sudah mengantongi license tidak memiliki kompetensi (skill, knowledge dan attitude) yang memadai. Hal inilah yang mengakibatkan masih banyaknya muncul complaint dari para wisatawan. Semestinya pemerintah atau departemen yang mengeluarkan license tersebut menyeleksi masyarakat lokal yang ingin menjadi pramu wisata lokal secara ketat sebelum mengeluarkan license. Begitu juga setelah mereka dinyatakan lulus, mereka harus diwajibkan mengikuti pelatihan secara berkala untuk meningkatkan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada para wisatawan.
Pengeluaran license untuk pemandu wisata lokal ini juga mengakibatkan konflik di antara lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan license dalam hal ini HPI dengan pemerintah daerah Karang Asem. Sehingga terjadilah tumpang tindih fungsi institusi dalam pengeluaran kebijakan tersebut.
Oleh karena itu dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan, pemerintah semestinya tidak membuatnya sendiri, tetapi harus didiskusikan bersama dengan pihak para pihak yang memiliki kepentingan seperti; biro perjalanan wisata, HPI, masyarakat lokal dan lembaga penegak hukum lainnya. Walaupun menurut teori fungsionalisme struktural bahwa pemerintah berwenang dalam pengeluaran kebijakan-kebijakan.
Peran Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Obyek Wisata Budaya di Pura Besakih
Apabila melihat kembali lagi ke belakang, melihat cikal bakal budaya dijadikan sebagai bagian dari pariwisata sebagaimana yang berlaku di Bali termasuk untuk obyek wisata budaya Pura Besakih, maka selaras dengan apa yang diamanatkan oleh UNESCO melalui Dewan Ekonomi dan Sosial dalam konfrensinya yang bertajuk The Cultural Factor in Tourism, dimana menekankan pentingnya pariwisata untuk mempromosikan perdamaian, persahabatan antar negara, melestarikan dan mempromosikan warisan budaya dalam pembangunan ekonominya. Untuk mewujudkan cita-cita mulia dari pengembangan pariwisata maka partisipasi masyarakat lokal dan pihak swasta lainnya adalah mutlak dilakukan apabila menginginkan Besakih kembali menjadi obyek yang populer di masa yang akan datang terutama sebai obyek pariwisata Budaya.
Pemberdayaan masyarakat lokal yang berada disekitar obyek wisata mutlak harus dilakukan. Hal ini sejalan dengan Pasal 8 Kepmen Parpostel No.KM 105/PW.304/MPPT-91 tentang ijin jasa pramuwisata. (Putra, 2001). Pemberdayaan ini tidak terbatas pada sumber daya manusia yang berprofesi sebagai pemandu wisata di obyek wisata tersebut, tetapi juga bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pendukung kegiatan kepariwisataan lainnya dan masyarakat yang bergerak dalam hal ritual keagamaan.
Hal ini perlu sekali, karena dengan meningkatnya kualitas sumber daya masyarakat setempat maka secara otomatis akan semakin mengerti apa sebenarnya yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata budaya Pura Besakih. Pentingnya peningkatan pendidikan bagi masyarakat yang berada pada lingkungan pariwisata budaya juga ditegaskan oleh Richard (1997) ‘education is the strongest single influence on cultural participation’. Lebih tegas lagi Richard (1997) menjelaskan pentingnya pengetahuan tentang budaya dalam pariwisata bahwa ‘people need to accommulate the knowledge about art and culture in order to be able to participate effectively. Lack of cultural capital therefore becomes a barrier to participation. Jadi betapa pentingnya pendidikan bagi masyarakat sehingga masyarakat hendaknya tahu persis tentang apa yang harus dijelaskan kepada wisatawan agar tidak terjadi kesalah mengertian atau kesalah pahaman dalam memberikan informasi kepada wisatawan.
Di samping hal tersebut di atas, perlunya peningkatan sumber daya manusia juga mengacu pada peningkatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat di Besakih sehingga masyarakat setempat memiliki kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja sesuai dengan UU No 9 Tahun 1990 tentang peranan pariwisata dalam memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja (Putra, 2001). Sebenarnya masyarakat sangat menentukan dalam upaya pelestarian, terutama masyarakat dalam hal ini penduduk lokal (local community) yang berada langsung di obyek tersebut.
Yang terakhir adalah masalah pelestarian obyek wisata Besakih. Berbicara tentang pelestarian yang berkelanjutan dan berkesinambungan, tentu melibatkan banyak aspek di dalam implikasi riilnya. Pelestarian tidak hanya mencakup bangunan fisik dari obyek tersebut tetapi juga termasuk lingkungan yang ikut mendukung pelestarian obyek tersebut. Dalam pariwisata berkelanjutan dinyatakan Recognation of symbiotic relationship between tourism, the environment and development should stimulate conservation of tourism attraction (France, 1997). Ini berarti pentingnya semua pihak untuk berfikir jernih, positif dan holistik dalam pelestarian suatu obyek termasuk dari sisi lingkungannya.
Agar membuat obyek wisata budaya Pura Besakih ajeg sebagai obyek wisata budaya, maka perlu digali upaya untuk memberi penyadaran kepada para stakeholder baik wisatawan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pelaku pariwisata, para umat yang berkunjung untuk bersembahyang maupun masyarakat pada umumnya. Penyadaran yang dimaksud adalah perlunya penekanan-penekanan pada betapa pentingnya obyek wisata budaya Pura Besakih tidak hanya sebatas sebagai obyek wisata, tetapi hendaknya menjadi suatu yang monumental untuk dilestarikan, dipelihara, dan dihargai keberadaannya sehingga akan tetap lestari. Hal ini sudah ditegaskan dalam Bali Sustainable Development Project sejak tahun 1991 yang sangat memberi perhatian dalam pelestarian nilai budaya Bali. Pada proyek tersebut diantaranya menegaskan “the continuity of culture and the balance within culture” (Nelson : 1992 :54).
Dalam upaya melestarikan obyek wisata Besakih secara integral dan berkelanjutan masyarakat harus terlibat secara langsung. Dengan keterlibatan masyarakat ini maka dampak yang ditimbulkan akan lebih jelas yaitu menuju pelestarian nilai budaya pada obyek tersebut. Keterlibatan masyarakat sebagaimana yang disebutkan Picard (1997) Once it had become a tourist asset, The Balinese resolve to preserve and promote their culture, while taking the advantage of its prestige abroad and its economic importance at home in order obtain full re-cognation of their ethnic identity from the state…
Dengan demikian, kemampuan masyarakat Bali dalam ikut serta melestarikan obyek wisata Besakih adalah merupakan upaya untuk mempertahankan jati diri sebagai masyarakat yang berbudaya dan memiliki religiusitas yang tinggi.
Kesadaran masyarakat secara keseluruhan termasuk wisatawan untuk ikut serta melestarikan obyek wisata budaya Pura Besakih akan merupakan kunci utama menuju keberhasilan memulihkan Pura Besakih sebagai obyek wisata budaya unggulan atau populer seperti yang terjadi pada tahun delapan puluhan. Jika ini berhasil diterapkan maka kesan Bali sebagai The Island Of Gods, The Last Paradise, dan terutama image Besakih sebagai The Mother Temple akan kembali jaya di masa yang akan datang.

Sinergi Pertanian dengan Pariwisata

Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak positif seperti peningkatan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejasteraan tetapi juga menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan pengalihan fungsi lahan terutama lahan pertanian yang dijadikan sebagai tempat pengembangan fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain.
Pengembangan pariwisata di Bali telah berkontribusi banyak terhadap kerusakan dan keseimbangan lingkungan khususnya pembangunan pariwisata yang memanfaatkan lahan pertanian baik lahan basah maupun kering. Di Kawasan Seminyak-Kabupaten Badung, banyak lahan pertanian sawah telah dialihkan fungsinya untuk pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, villa, bungalow, café, art shop dan lain-lain. Dengan pembangunan sarana-sarana tersebut maka secara otomatis sistem penyaluran atau distribusi air terhalangi oleh beton-beton yang melintang dengan kokoh di wilayah tersebut yang mengakibatkan air tidak bisa mengalir dengan baik ke seluruh areal persawahan. Terhambatnya saluran air di daerah tersebut juga telah mengakibatkan masalah baru “banjir” khususnya pada musim hujan. Air meluap ke permukaan saluran-saluran air yang kecil dan tidak lancar dan tumpah ke jalan. Sistem distribusi air yang dikenal sebagai “subak” dan sawah yang dulunya merupakan sumber penghasilan utama masyarakat setempat akan punah ditelan jaman dan derasnya laju pembangunan pariwisata. Melihat fakta ini, mungkinkah lingkungan, sawah dan subak bisa lestari? Dengan kerusakan ini pula, mungkinkah budaya luhur masyarakat Bali khususnya pertanian bisa Ajeg?
Pemanfaatan lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata juga telah mengakibatkan kesenjangan antara industri pariwisata dengan pertanian. Permasalahan ini dilatarbelakangi oleh tidak seimbangnya pembagian hasil pemanfaatan pertanian untuk kepentingan pariwisata. Kasus pemasangan seng agar nampak berkilau di areal persawahan warga yang terjadi di Ceking-Kabupaten Gianyar merupakan bukti nyata yang menggambarkan ketidakharmonisan hubungan antara petani dan industri pariwisata. Sawah warga yang elok dan indah dijadikan pemandangan bagi sejumlah restoran, café dan hotel, tetapi petani yang memiliki sawah yang indah tersebut tidak mendapatkan keuntungan sehubungan dengan pemanfaatan sawah dan aktivitas pertaniannya sebagai atraksi wisata. Kekesalan petani pemilik sawah tersebut berujung pada pemasangan seng di sawahnya yang mengakibatkan wisatawan mengeluh karena tidak bisa melihat pemandangan yang indah sebagaimana yang dijanjikan.
ceking1
Contoh lain yang memiliki permasalahan yang hampir sama adalah di objek Desa Wisata Jatiluwih-Kabupaten Tabanan. Keindahan bentang alam persawahan di tempat ini bukan hanya diminati oleh wisatawan domestik dan manca negara, tetapi juga bagi para anggota tim panitia pemilihan warisan alam dan budaya international. Karena keindahannya, Desa Wisata Jatiluwih dinominasikan sebagai salah satu warisan alam dunia (world natural heritage) dan merupakan satu-satunya objek wisata alam yang dinominasikan di Bali. Fakta yang terjadi di lapangan, warga desa setempat dan pemilik sawah tersebut belum mendapatkan hasil dan keuntungan dari kegiatan wisata yang dilakukan di daerahnya. Operator-operator tour yang menjual paket wisata seperti sightseeing, cycling dan trekking di Desa Wisata Jatiluwih secara langsung membawa pemandu wisata (tour guide), keperluan makanan dan minuman dan peralatan kegiatan wisata tersebut dari kantornya masing-masing sehingga masyarakat lokal sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dan sebaliknya masyarakat lokal hanya menerima sisa-sisa sampah dan jejak kaki para wisatawan saja.
Mungkin saja para operator tour yang menjual paket wisata ke objek Desa Wisata Jatiluwih tidak mengetahui bahwa kegiatan pertanian padi sawah yang mencakup pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan memerlukan biaya tinggi. Biaya yang dikeluarkan oleh petani tersebut sama sekali tidak ditanggung oleh para operator tour. Semestinya, para operator tour yang menjual objek Desa Wisata Jatiluwih memberikan insentif kepada para petani agar tetap melakukan aktifitas pertanian dan membantu mengurangi beban biaya yang dikeluarkan petani. Untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pertanian, beberapa petani sudah mulai mengembangkan sayapnya ke sektor peternakan ayam. Di sekitar kawasan Desa Wisata Jatiluwih telah tampak dibangun beberapa kandang ayam yang mengurangi keindahan di objek wisata tersebut dan tidak menutup kemungkinan bahwa di seluruh areal persawahan tersebut akan dibagun usaha peternakan ayam juga di masa yang akan datang yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara yang disebabkan oleh bau kotoran ayam tersebut.
World Tourism Organization (WTO) sebenarnya telah menggariskan kebijakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang menitikberatkan pada tiga hal yaitu keberlanjutan alam, sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini secara jelas menjabarkan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam, lingkungan, dan lahan terutama lahan pertanian. Agrotourism merupakan model pengembangan pariwisata memiliki keterkaitan yang erat antara pertanian dan pariwisata.
ceking-2
Bagaimana mensinergikan pertanian dengan pariwisata? Pengembangan agrotourism merupakan model pengembangan yang tepat dan melengkapi model pengembagan pariwisata budaya yang dikembangkan sekarang ini di Bali. Agrowisata merupakan pengembangan pariwisata yang berbasis pertanian, baik pemanfaatan aktivitas pertanian seperti membajak, menanam padi dan memanen sebagai objek wisata, daya tarik wisata dan atraksi wisata maupun pemanfaatan hasil-hasil pertanian seperti beras, sayur dan buah untuk keperluan industri pariwisata seperti hotel dan restoran di suatu daerah tujuan wisata. Bagus Agrowisata di Plaga-Kabupaten Badung, merupakan salah satu contoh objek agrowisata yang memanfaatkan kegiatan pertanian organik sebagai daya tarik wisatanya. Wisatawan secara langsung bisa melihat beraneka ragam tanaman (sayuran dan buah) dan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal di tempat tersebut. Selain itu, wisatawan juga bisa memetik buah-buahan secara langsung di sekitar areal Bagus Agrowisata sambil melihat pemandangan perbukitan yang indah dan menakjubkan. Sedangkan hasil pertaniannya digunakan untuk kepentingan hotel dan restoran yang secara khusus menjual makanan organik yang merupakan makanan sehat dan menjadi trend bagi kalangan wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara.
Tidak semua pengembangan agrowisata bisa berjalan dengan baik. Agrotourism di Sibetan-Kabupaten Karangasem yang memanfaatkan kegiatan dan hasil pertanian salak-yang merupakan icon buah Bali sebagai objek dan daya tarik wisatanya tidak beroperasi sebagaimana yang direncanakan. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pengelolaan agrowisata di tempat ini. Ketidakjelasan manajemen pengelolaan merupakan faktor utama. Objek agrowisata ini tidak dikelola dengan baik mulai dari penataan areal yang dijadikan objek, operasional kegiatan tour, dan sumber daya manusia. Faktor lain adalah pemasaran. Objek Agrowisata Sibeten belum dipasarkan secara maksimal oleh manajeman pengelolanya sehingga belum banyak dikenal oleh para operator tour yang menjual paket-paket wisata di Bali. Pemerintah khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem semestinya mempetakan kembali objek-objek wisata yang ada di wilayahnya dan selanjutnya mempromosikan melalui media masa, televisi, internet dan media publikasi lainnya. Selain manajemen dan pemasaran, kerjasama antar stakeholder pariwisata (pemerintah, LSM, masyarakat lokal, industri pariwisata, dan akademisi) belum berjalan dengan baik karena hanya travel agent yang menjual paket wisata ke daerah Timur Bali saja yang berjalan sendiri-sendiri tanpa ada dukungan dari stakeholder pariwisata yang lainnya.
salak
Kesimpulannya, pertanian sangat memungkinkan untuk disenergikan dengan pariwisata yang diwujudkan dalam pengembangan agrowisata. Perlu adanya komitmen dari seluruh stakeholder pariwisata untuk bersama-sama menerapkan kosep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau di Bali sering disebut sebagai Ajeg Bali yaitu keberlanjutan sumber daya alam, sosial-budaya, dan pemberian manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal.